Batu Bara–14 April 2023|Kader PMII Batu Bara Muhammad Khairun Nizam, cara jitu agar meningkatkan tekat yang kuat menjinakkan Politik Identitas di tengah tengah masyarakat jika tidak dicegah akan bahaya bagi kita bersama, jika tidak mampu melawan maka ada salah satu cara untuk melakukan yakni menjinakkan jauh lebih cukup.
Politik Identitas kini sudah mengakar rumput, cenderung tidak memiliki kapasitas yang sama untuk meredam daya rusak politik identitas. Kini saatnya kita lakukan untuk membangkitkan kesadaran bersama akan bahaya poltik identitas
Lebih dari sekadar kosakata peyoratif yang berkonotasi negatif, politik identitas telah menjelma menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa ini.
Berbeda dengan kaum elite politik yang memiliki kapasitas resiliensi dan pemulihan (recovery) yang cepat dan mumpuni, masyarakat akar rumput cenderung tidak memiliki kapasitas yang sama untuk meredam daya rusak politik identitas. Politik identitas memiliki daya rusak yang dahsyat sehingga efeknya sulit untuk dipulihkan dalam jangka waktu lama.
Nizam merujuk pada pertarungan Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu Presiden 2019 telah memberikan pengalaman traumatis betapa merusaknya politik identitas di kalangan masyarakat kita. Masyarakat terbelah menjadi dua kelompok besar yang identitas pembedanya dilekatkan pada afiliasi keagamaan seperti misalnya kelompok cebong dan kampret.
Sekalipun di tingkat elite telah terjadi rekonsiliasi politik, tak demikian halnya dengan akar rumput yang terus memelihara dan bernostalgia dengan sentimen politik identitas. Fakta fragmentasi dan disharmoni sosial ini melahirkan gelombang aksi massa yang berjilid-jilid, seperti aksi 212 dan semacamnya
“Kutipan pesan Presiden Joko Widodo mengingatkan masyarakat agar tak lagi mengeksploitasi politik identitas pada proses politik elektoral mendatang”.
“Ketua Umum PBNU KH Yahya C Staquf bahkan akan melawan penggunaan politik identitas—terutama identitas keagamaan—di Pemilu 2024″.
Memang tidak ada jaminan politik identitas tidak menguat kembali pada Pemilu 2024. Sekalipun dibalut dengan warna dan orientasi ideologis yang berbeda, eksploitasi politik identitas akan berujung pada nestapa yang sama: disharmoni dan fragmentasi sosial.
Nizam mengungkapkan dalam spektrum politik demokrasi di Indonesia, imbauan agar tidak menggunakan politik identitas dalam proses elektoral memang tidak memiliki dampak dan kekuatan legal-formal karena ia hanya bersifat etik-moral. Tidak ada jaminan imbauan semacam ini dapat mengakhiri penggunaan politik identitas dalam proses elektoral berikutnya.
Terlebih di era digital, penggunaan media sosial menjadi pintu masuk bagi kontestan politik untuk melakukan berbagai persuasi dan kampanye politik di ruang publik, termasuk kampanye negatif melalui eksploitasi politik identitas.
Oleh karena itu kata Nizam , perlu ada ikhtiar edukatif khusus bagian sanak keluarga untuk membangkitkan kesadaran bersama agar menjinakkan politik identitas bahwa ini akan bahaya politik identitas yang dapat menyebabkan terjadinya disharmoni dan fragmentasi sosial kedepan.